Sejarah Masuknya Wayang Kulit di Indonesia



alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk mempermudah proses pemujaan.4
4 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992, hlm. 253
b. Periode Hindu-Budha

Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c. Periode Islam

Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang.5
5 R. Sutrisno, Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
d. Periode Kolonial

Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai disempurnakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
6 Sri Mulyono, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta : Haji Masagung, 1975, hal. 87
e. Periode Pasca kemerdekaan

Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar tahun 1864.7Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak. Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan memperbaharui kontraknya kembali.
7 Pengertian Onderneming dalam buku Toean Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau, kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil-kecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang-orang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
9 Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu. 10 Ketoprak dor merupakan kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu. 10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan, meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila, karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang dipertunjukkan berisi nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan. alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk mempermudah proses pemujaan.

Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c. Periode Islam

Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang.5
5 R. Sutrisno, Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
d. Periode Kolonial

Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai disempurnakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
e. Periode Pasca kemerdekaan

Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar tahun 1864.7Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak. Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan memperbaharui kontraknya kembali.
7 Pengertian Onderneming dalam buku Toean Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau, kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil-kecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang-orang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
9 Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu. 10 Ketoprak dor merupakan kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu. 10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan, meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila, karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang dipertunjukkan berisi nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan.

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Sejarah Masuknya Wayang Kulit di Indonesia ini dipublish oleh Unknown pada hari Rabu, 23 April 2014. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Sejarah Masuknya Wayang Kulit di Indonesia
 

0 komentar:

Posting Komentar