alat-alat
pemujaan berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah
nenek moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas.
Hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang
juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap
sakral tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap
sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk
mempermudah proses pemujaan.4
4
Koentjaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992, hlm. 253
b. Periode
Hindu-Budha
Perupaan wayang
dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan
dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah
muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan
patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan
terhadap nenek
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang
yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek
moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu
cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c.
Periode Islam
Wayang
kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga
sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti
sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada
bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari
samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan
hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa
yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi
sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang.5
5 R. Sutrisno, Sekilas
Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
d.
Periode Kolonial
Wayang
sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika
pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan
Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang
bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai disempurnakan. Pada zaman ini pertunjukan
wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh
seorang sinden, namun
pertunjukan
wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah
menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat
yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
6 Sri Mulyono, Wayang,
Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta : Haji Masagung, 1975, hal.
87
e. Periode Pasca kemerdekaan
Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi
perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah
melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi
baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini
pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai
sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu
seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki
fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan
komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama.
Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh
pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan
tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara
memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan
buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar
biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
Dari beberapa periode
tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan
mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang
kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada
saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang
memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak
nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang
lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya
sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada
sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa
oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh
perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat
perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini
lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui
bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak,
Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat
mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu
Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang
telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh
masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti
yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Wayang memang telah
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang
kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses
penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke
Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar
tahun 1864.7Pada
saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda
yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak. Pada awalnya para kuli
kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas
lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan
perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan
politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai
buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan
kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan
uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan
memperbaharui kontraknya kembali.
7 Pengertian Onderneming dalam buku Toean
Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik
Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming
yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau,
kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan
ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak
khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka
seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
berupa pertunjukan
kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil-kecilan yang dapat
menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena
perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang
kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah
didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan
Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8Masyarakat
Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka
berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan,
kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana.
Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat
menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk,
ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun mereka telah berbaur dengan
etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang-orang Jawa yang sangat
kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan
sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang
yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi
bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat
terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
Masyarakat Jawa yang
telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan
dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan
penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini
lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam.
Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat
kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli
Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa
dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan
Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
9 Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman
keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan
syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu. 10 Ketoprak dor merupakan kesenian
Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik
Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat musik
according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam
lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga
mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi
yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak
dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu. 10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh
yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya
banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur
seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan
zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
kemunduran akibat
pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami
kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar
tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur
khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari
oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini
menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional,
seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi
yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan
tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta
perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit
terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun
menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya
kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat
ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan,
meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap
memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional
wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila,
karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang dipertunjukkan berisi
nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak
tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan
arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa.
Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau
oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang
dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit sudah dianggap
sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di
kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit penikmatnya hanyalah orang
tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan. alat-alat pemujaan
berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek
moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang
dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga
menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral
tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti,
selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk
mempermudah proses pemujaan.
Perupaan wayang
dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan
dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah
muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan
patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan
terhadap nenek
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang
yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek
moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu
cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c.
Periode Islam
Wayang
kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga
sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti
sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada
bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari
samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan
hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa
yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi
sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang.5
5 R. Sutrisno, Sekilas
Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
d.
Periode Kolonial
Wayang
sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika
pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan
Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang
bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai disempurnakan. Pada zaman ini pertunjukan
wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh
seorang sinden, namun
pertunjukan
wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah
menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat
yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
e. Periode Pasca kemerdekaan
Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi
perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah
melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi
baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini
pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai
sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu
seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki
fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan
komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama.
Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh
pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan
tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara
memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan
buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar
biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
Dari beberapa periode
tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan
mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang
kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada
saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang
memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak
nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang
lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya
sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada
sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa
oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh
perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat
perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini
lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui
bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak,
Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat
mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu
Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang
telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh
masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti
yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Wayang memang telah
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang
kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses
penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke
Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar
tahun 1864.7Pada
saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda
yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak. Pada awalnya para kuli
kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas
lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan
perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan
politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai
buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan
kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan
uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan
memperbaharui kontraknya kembali.
7 Pengertian Onderneming dalam buku Toean
Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik
Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming
yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau,
kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan
ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak
khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka
seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
berupa pertunjukan
kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil-kecilan yang dapat
menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena
perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang
kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah
didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan
Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8Masyarakat
Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka
berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan,
kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana.
Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat
menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk,
ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun mereka telah berbaur dengan
etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang-orang Jawa yang sangat
kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan
sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang
yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi
bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat
terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
Masyarakat Jawa yang
telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan
dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan
penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini
lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam.
Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat
kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk
asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa
dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan
Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
9 Masyarakat Jawa yang dimakamkan di
pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang
merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan
Melayu. 10
Ketoprak
dor merupakan
kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan
musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat
musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan
dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga
mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi
yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak
dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu. 10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh
yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya
banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur
seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan
zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
kemunduran akibat
pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami
kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar
tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur
khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari
oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini
menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional,
seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi
yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan
tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta
perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit
terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun
menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya
kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat
ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan,
meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap
memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional
wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila,
karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang dipertunjukkan berisi
nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya
sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh
perkembangan arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan
berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit
sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena
biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang
kulit sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa
yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit
penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk
pewayangan.